Oleh Sukma Aulia Rohman
Matahari terbit dengan cerahnya. Pagi ini menyinari kampung Mertoyudan yang masih asri, di kala itu warga desa sedang sibuk menjalankan berbagai aktivitas. Ada yang sedang bertani, bersiap-siap untuk berjualan, dan terlihat pula anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah. Namun tiba-tiba langit mendadak mendung, gemuruh serta rintik hujan mulai turun membasahi kampung. Dari selatan terdengar isak tangis bayi perempuan yang lahir ke dunia. Bayi yang kelahirannya tidak diinginkan oleh penduduk desa karena ia lahir membawa petaka, bayi tersebut bernama Sulastri.
Mengapa kelahiran Sulastri membuat kecemasan kampung Mertoyudan? Jauh sebelum Sulastri lahir, sejak zaman nenek moyang warga kampung, berkali-kali dihadapkan dengan mitos tentang perempuan bahu laweyan yang memiliki ciri tahi lalat sebesar uang koin di punggung sebelah kiri. Perempuan ini dihuni oleh sosok genderuwo yang membuat siapapun lelaki yang menikahinya akan tewas secara tragis sampai laki-laki ketujuh.
Sulastri tumbuh menjadi gadis remaja yang jelita, namun nasibnya tida mujur. Kedua orang tuanya meninggal tersambar petir saat berteduh di bawah pohon di sawah. Penduduk kampung semakin cemas. Kematian kedua orang Sulastri semakin dikaitkan dengan kutukan perempuan bahu laweyan. Sulastri semakin diasingkan oleh penduduk kampung.
“Ini perempuan bahu laweyan! Kita harus bunuh anak itu!” ucap pak Darno, diiringi sorak dari warga kampung di suatu malam di rumah ketua kampung.
Namun disaat yang bersamaan muncul seorang wanita bernama Sutiyem, ia dengan lantang berkata.
“Jangan bunuh dia! Aku akan membawanya pergi dari sini!” ucap Sutiyem.
***
Gemuruh langit yang dingin, diiringi tetesan hujan yang jatuh membasahi bumi. Sulastri membereskan dagangan, suasana hujan membuat warung sepi. Ia pun berniat menutup warung. Tak lama kemudian terdengar suara laki-laki paruh baya yang memanggil namanya.
“Lastri! Lastri!”
Sulastri yang sedang membereskan dagangannya seketika berdiri mencari letak suara yang memanggil namanya. Tak lama kemudian terlihat lelaki berlari menghampiri Sulastri, sambil terengah-engah ia kemudian berkata.
“Lastri kamu harus cepat pergi dari kampung ini!” ucapnya dengan wajah yang basah oleh air hujan.
“Pergi? Memangnya saya ada salah apa?” jawab Sulastri dengan penuh ketakutan.
“Kamu itu perempuan bahu laweyan! Kalau kamu tidak secepatnya pergi dari sini, warga kampung akan mengusir kamu dari sini!” ucap lelaki paruh baya itu dengan penuh cemas.
Sulastri hanya diam tak bergeming, lalu tak lama kemudian ia kembali membereskan dagangannya. Sementara lelaki itu pergi meninggalkan Sulastri.
Malam berjalan terasa sangat panjang, gemuruh dan hujan lebat tak kunjung henti mengguyur kampung Karadenan. Sulastri yang sudah tertidur lelap tiba-tiba terbangun karena suara petir yang menyambar atap warungnya.
“Mengapa hujannya tidak cepat berhenti?” gumam Sulastri.
Ia kemudian berjalan ke depan pintu warungnya untuk melihat keluar jendela. Tak lama kemudian ia termenung memikirkan ucapan lelaki yang siang tadi menghampirinya.
“Sebenarnya ada apa? Mengapa aku harus meninggalkan kampung?” gumam Sulastri.
Kemudian Sulastri kembali masuk ke dalam kamarnya. Namun langkahnya tertahan, Sulastri diam tak bergerak sedikit pun, ia seakan tidak percaya dengan sosok yang ada di hadapannya. Sosok hitam yang tingginya melebihi kamar berdiri menatap Sulastri dengan tatapan penuh amarah, sosok itu kemudian terbang menghampiri Sulastri. Sulastri yang berdiri kemudian mencoba membaca jampi-jampi yang ia miliki, namun mantra yang diucapkan Sulastri tak berpengaruh sama sekali. Ia lantas jatuh tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Sulastri terbangun, samar-samar dia melihat di hadapannya ada sesosok wanita paruh baya yang sedang menyalakan kemenyan di dalam kamar.
“Sudah bangun Lastri,” ucap wanita.
Sulastri yang terkejut dengan kehadiran wanita itu lantas bertanya.
“Ibu Sutiyem? Ibu ada di sini?” tanya Sulastri dengan lirih.
“Sini, ibu obati luka yang ada di kepalamu,” jelasnya lalu mengambil kain yang sudah diberikan obat, kemudian kain itu diletakkan di pelipis Sulastri.
Sulastri yang tidak mengetahui ada luka di kepalanya lantas bertanya, “Sebenarnya ada apa Bu?” ucap Sulastri.
“Kepala kamu memar Nduk karena terbentur sesuatu,” jawab ibu Sutiyem.
Sulastri kemudian kembali terdiam, ia mencoba mengingat kejadian semalam. Namun saat ia mencoba mengingatnya, terbayang di pikirannya sosok hitam dengan mata merah yang tatapan mata penuh dengan amarah.
Bayangan dari sosok itu terus menghantui pikiran Sulastri, ia bertanya-tanya dalam hatinya: mengapa aku mengalami kejadian ini?
Sulastri lantas bertanya ke wanita paruh baya yang sedang mengobati lukanya. Ia heran, mengapa ibu Sutiyem yang merawat dirinya tiba-tiba ada di dalam warungnya. Bukankah ibu Sutiyem sudah lama mengasingkan diri ke ujung kampung, berdiam diri di bekas pertirtaan.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum ringan kepada Sulastri, ia seolah sudah mengerti apa yang ada dalam pikiran Sulastri, anak asuhnya.
“Ibu tahu apa yang terjadi padamu semalam, kamu tidak usah takut ibu akan membantumu.”
Sulastri yang mendengar jawaban dari wanita itu hanya terdiam ia semakin bingung dengan apa yang terjadi padanya.
“Sekarang kamu ikut ibu ya, kita pergi dari kampung ini.” ucap wanita itu kepada Sulastri.
“Kemana Bu?”
“Ke suatu tempat.”
Sulastri semakin tidak mengerti, dalam hatinya ada perasaan enggan meninggalkan kampung Karadenan dan warung peninggalan suaminya yang telah meninggal. Ia mengikuti suaminya tinggal di Karadenan, meskipun mereka belum diberikan anak, tapi kebahagiaan selalu meliputi rumah tangganya. Di warung ini semua berawal, meniti impian bersama suaminya, Sarja sampai kejadian aneh menimpa Sarja yang tiba-tiba meninggal.
“Sulastri! Sulastri! Pergi kau!”
“Keluar dari kampung ini!”
“Perempuan pembawa malapetaka!”
“Pergi!”
“Pergi!”
“Usir dia!”
Tiba-tiba terdengar suara riuh di luar warung. Sulastri terkejut, ia membuka tirai warung, mengintip ke luar. Suasana di luar sangat ramai. Warga kampung berkumpul di depan warungnya dengan wajah bengis. Di antara kerumunan, terlihat Karman, lelaki yang beberapa waktu lalu mengajaknya menikah, namun Sulastri menolak.
Karman tersenyum sinis. Mungkinkah ini gara-gara Karman? Pikir Sulastri.
“Cepat Sulastri, kita harus pergi!” perintah ibu Sutiyem.
Sulastri kemudian bergegas membereskan barang-barang dan sisa dagangannya, ia memasukkan seluruh barangnya ke dalam sebuah tas besar yang terbuat dari kain
“Ibu tunggu kamu di gapura kampung!” ujar ibu Sutiyem lalu berjalan pergi meninggalkan Sulastri melalui pintu belakang warung.
Sulastri yang sedang mengemas pakaiannya kemudian teringat dengan perkataan lelaki itu yang menghampirinya kemarin: kamu itu perempuan bahu laweyan!
Sulastri lantas berjalan pergi meninggalkan rumah dan kampung itu. Ia berjalan lunglai dengan perasaan yang sedih, aiir mata Sulastri menetes mengiringi langkahnya. Tak berselang lama, Sulastri tiba di gapura kampung tepat tengah hari menemui ibu Sutiyem yang menunggu.
Sulastri merasa dirinya benar-benar hancur, kemudian ia terus tertunduk sambil melanjutkan perjalanan bersama ibu Sutiyem. Sulastri dan ibu Sutiyem lantas berjalan meninggalkan kampung itu. Kampung yang pernah menjadi harapan membangun impian bersama Sarja, suaminya. Namun kini, ia pun harus pergi seperti Sarja yang meninggalkan kampung itu lebih dulu.
Sayup-sayup terdengar suara teriakan warga yang masih berdiri di depan warungnya. Mereka sudah termakan hasutan Karman. Seorang kepala kampung yang menginginkan Sulastri menjadi istri keduanya.
Waktu itu, ketika Sulastri mandi di pancuran, Karman melintas, lalu menggodanya. Sejak itu, Karman selalu datang ke warung mendesak untuk menerima lamarannya. Karman pun sempat melihat tahi lalat sebesar koin di punggung kirinya saat usai mandi di pancuran. Akibat lamarannya ditolak, Karman terus menghembuskan kabar tentang perempuan bahu laweyan, apalagi Sarja, suami Sulastri mati mendadak, semakin yakinlah warga kampung tentang bahaya Sulastri ada di kampungnya.
Dari kejauhan, Sulastri melihat kobaran api. Warungnya ambruk dibakar warga.
***
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, Sulastri dan ibu Sutiyem tiba di sebuah gubuk di daerah Srumbung dekat kaki gunung Merapi. Ibu Sutyem kemudian mengetuk pintu gubuk dengan perlahan, lalu mengucapkan salam.
“Kulo nuwun,” ucap ibu Sutiyem.
Kemudian laki-laki paruh baya membukakan pintu seraya berkata.
“Monggo..”
Laki-laki itu adalah Ki Ageng Ismoyo. Ia dikenal sebagai orang yang linuwih dan sakti mandraguna. Ki Ageng yang sudah mengetahui maksud kedatangan Sulastri bersama ibu Sutiyem kemudian menyuruh mereka untuk masuk ke dalam.
Mereka berjalan ke suatu ruangan yang dikelilingi oleh kain berwarna hitam. Sulastri yang masih bingung dengan maksud ibu Sutiyem membawakan dirinya ke tempat ini lantas bertanya.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa aku dibawa ke sini?”
Ibu Sutiyem lantas menjawab pertanyaan Sulastri.
“Nanti kamu bakal tahu sendiri. Sekarang kamu tinggal dulu di sini bersama aki ya..” ucap ibu Sutiyem.
Sulastri hanya mengangguk mendengar jawaban dari ibu Sutiyem, sementara Ki Agang Ismoyo hanya diam, menatap tajam Sulastri.
Malam tiba, ibu Sutiyem yang bersama Ki Ageng Ismoyo sedang duduk di depan teras. Mereka berbincang mengenai ritual yang akan mereka lakukan malam ini kepada Sulastri.
“Ini perempuan bahu laweyan, aku merasa kasihan padanya. Bagaimanapun, ia adalah anakku,” ucap ibu Sutiyem.
Ki Ageng Ismoyo menghela napas panjang kemudian menjawab.
“Ya aku tahu sejak lama, bahwa ada seorang perempuan bahu laweyan lahir di kampung Mertoyudan,” ucapnya.
“Ini sudah saatnya ritual misah raga,” ucap Sutiyem.
Ki Ageng Ismoyo hanya mengangguk-ngangguk.
Obrolan terus berlanjut hingga tengah malam, Sulastri yang sedang duduk di ruang tamu kemudian dipanggil oleh ibu Sutiyem.
“Sulastri ayo ikut masuk ke dalam,” ucap ibu Sutiyem.
Sulastri kemudian masuk ke dalam ruangan yang di kelilingi kain hitam, ia melihat Ki Ageng sedang duduk bersila. Kemudian, semuanya duduk berhadap-hadapan dengan lilin merah yang menyala di tengah mereka bertiga.
Ki Ageng kemudian meminta Sulastri untuk memejamkan mata, sementara itu ibu Sutiyem menaburkan kembang tujuh rupa di sekitar lilin merah. Kemudian Ki Ageng mulai membacakan mantra.
Kumpul ning rasa
netraku dadi dingin
netra ingsun emas putih
isun ngapal mantra ajian lampah lumpuh
Setelah mantra dibacakan, sosok tinggi hitam muncul dari tubuh Sulastri. Tatapannya tajam penuh amarah, sosok itu kemudian menyerang semuanya.
Ki Ageng yang sakti, lantas dapat menangkal serangan dari sosok itu. Adu kesaktian terus terjadi hingga kemudian sosok itu mengeluarkan ajian pamungkasnya yaitu ajian panglebur sukmo. Ki Ageng yang mulai kelelahan tak dapat menangkal serangan yang dilancarkan sosok hitam itu. Hingga kemudian Ki Ageng terkapar lemas oleh serangan pamungkas sosok hitam.
Ibu Sutiyem yang melihat kejadian itu lantas berlari menghampiri Ki Ageng Ismoyo, ibu Sutiyem kemudian mengeluarkan pusaka keris Brotoseno miliknya.
Pertarungan antara sosok hitam dan ibu Sutiyem terus terjadi hingga pada akhirnya ibu Sutiyem sudah kehabisan tenaga. Kemudian untuk menyelamatkan Sulastri, ia menawarkan dirinya untuk dijadikan tumbal sebagai jaminan agar Sulastri dapat terbebas dari kutukan.
“Ambil ragaku! Tapi pergilah dari tubuh Sulastri!” ucap ibu Sutiyem.
Sosok hitam itu lantas menghabisi ibu Sutiyem dengan membabi buta, hingga pada akhirnya ibu Sutiyem jatuh tersungkur di hadapan Sulastri.
Sulastri yang merasa bahwa ada sesuatu yang jatuh di hadapannya lantas membuka mata. Betapa terkejutnya ketika melihat dua sosok yang mendampinginya terkapar.
Sulastri kemudian menghampiri ibu Sutiyem. Sulastri mencoba membangunkannya.
“Ibu! Bangun!” teriak Sulastri.
Ki Ageng Ismoyo yang mendengar suara Sulastri menjawab.
“Sutiyem berkorban untukmu, Nduk…” ucap Ki Ageng Ismoyo.
Sulastri menangis, histeris. Dia merasa sangat terpukul dengan apa yang dialaminya. Tangisnya pecah dan semakin menjadi-jadi, badannya sangat lemas hingga tak lama kemudian Sulastri jatuh tak sadarkan diri.
***
Pagi itu, suasana sangat cerah. Tatapan mata Ki Ageng Ismoyo menghantarkan Sulastri menuruni bukit. Dari kaki gunung merapi ini, Sulastri akan memulai hidup baru. Setelah pengorbanan ibu Sutiyem, Sulastri di asuh oleh Ki Ageng Ismoyo. Diberikan ilmu lahir dan ilmu batin, membuat Sulastri semakin menjadi perempuan yang luhur budi pekerti.
Sulastri berjalan pergi meninggalkan gubuk. Sulastri adalah perempuan yang tangguh ia tak menyerah. Ia memilih menyambung hidupnya dengan merantau ke kota besar. Meninggalkan tanah perkampungan. Sulastri bekerja sangat bersemangat. Kemudian ia bertemu dengan seorang lelaki yang sangat baik, parasnya rupawan.
Sulastri kemudian menikah dengan lelaki tersebut hingga akhirnya hidup bahagia, terlepas dari belenggu yang ia rasakan sebagai perempuan bahu laweyan di kampungnya.
Juli, 2024
Sukma Aulia Rohman, lahir 28 April di Cirebon, ia senang ngopi sambil merangkai kata-kata. Saat ini sebagai mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina Cirebon jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah.