Oleh Felipe de Saavedra
Professor Associado de Estudos Portugueses. Faculdade de Estudos
Internacionais. Universidade de Ciência e Tecnologia de Macau
Buku paling terkenal yang ditulis dalam Bahasa Portugis, Os Lusiadas karya Luis Vaz de Camoes telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Puisi Lusiadi dan dapat dinikmati di halaman-halaman berikut ini. Doktor Danny Susanto menerjemahkan sebanyak 8816 buah bait dari karya epos tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan pekerjaan terberat yang dilakukan oleh seorang penerjemah bahasa Portugis. Dan dia memperkaya hasil penerjemahannya dengan lebih dari seribu catatan penjelasan, baik tentang teks puisinya sendiri maupun tentang konteks sejarah Camoes, sehingga sangat membantu pembaca penikmat puisi di negeri kepulauan ini.
Versi terjemahan ini memiliki arti khusus karena menunjukkan hubungan yang mendalam dari penulis besar dan dunia asal Portugis ini dengan masyarakat Indonesia, antara lain saat ia berkunjung dalam momen-momen kreatif penulisan puisinya, saat ia tinggal di pulau-pulau di kepulauan Maluku dari tahun 1556 hingga 1559. Justru di tempat inilah penulis Os Lusiadas memperoleh visi besar tentang gagasan besar yang akan mendefinisikan apa itu Portugal dan siapa orang Portugis itu. Visi kebangsaan ini justru ia miliki saat ia jatuh dari tanah kelahirannya, saat dilanda kesedihan yang mendalam, dan kerinduan yang menyakitkan akibat jarak yang jauh dari tanah airnya.
***
Luis Vaz de Camoes lahir pada tahun 1524, atau 25, di kota Porto, di kerajaan Portugal, seperti yang ia ceritakan dalam surat kedua yang ditulis India, yang diterbitkan pada tahun 1598. Ia dibesarkan di Coimbra, di pantai Portugis –Coimbra… udara tempat aku dibesarkan (surat kepada sesama murid) – kota tempat beberapa kerabatnya tinggal. Di sanalah, diperkirakan di lingkungan studi monastik ia memperoleh, budaya ensiklopedia yang kemudian ia buktikan melalui karya-karyanya, yang mencakup sejarah, geografi, mitologi, astronomi, antropologi, surat-surat kuno dan modern, retorika dan puitis, dan ilmu pengetahuan alam. Kehidupan lalu mengajarinya seni perang, teknik bahari dan pengetahuan tentang produk dan rute perdagangan jarak jauh. Pemahaman yang mendalam tentang manusia dan dunia memungkinkannya untuk mengasimilasi dan menyatukan semua pengetahuan yang sangat beragam ini.
Dari tahun 1543 hingga 1548 ia berada di istana di Lisbon dan di masa inilah dia berlatih menulis puisi-puisi kerajaan. Beberapa jalinan asmara yang dialaminya membawanya ke pengasingan singkat di Ribatejo, mungkin juga di Almeirim, untuk menenangkan dorongan darah mudanya. Di panggung di kota Lisbon ia memperoleh reputasi yang cukup besar sebagai penulis drama. Ia menulis beberapa drama secara anonim, di antaranya adalah komedi dalam syair, Auto dos Enfatrioes, dan satu lagi dalam prosa dan syair, Comedia del Rey Seleuco, keduanya merupakan inspirasi dan syair yang luar biasa.
Ketika waktu milisi tiba, dia pergi untuk bergabung pada pasukan Portugis di Afrika, antara tahun 1548 dan 1550. Dalam salah satu pertempuran itu dia tertembak peluru mata kanannya, sehingga buta (Severim de Faria), atau versi lainnya, oleh percikan atau bara yang diisi ulang dalam meriam bangsa Moro yang menyala dan ditembakkan (Faria e Sousa). Kecelakaan ini menyebabkan dia mengalami trauma yang cukup besar sehingga ia beberapa kali mengungkapkannya dalam tulisan-tulisannya.
Dia kembali ke Lisbon dalam keadaan menganggur tidak punya kegiatan sehingga lebih banyak menghabiskan waktunya di tengah hiruk pikuk malam kota ini. Karena terlibat pertikaian ia ditangkap polisi dan ditahan di ruang bawah tanah. Dia dibebaskan dari sana pada tahun 1553, setelah sembilan bulan di penjara dan langsung menuju wilayah kekuasaan Portugis di India.
Misi militer selanjutnya adalah mula-mula ke Pantai Malabar pada tahun 1553, kemudian pada tahun 1554 ke Laut Merah, Somalia dan Aden, lalu kembali melalui Muscat dan mungkin Hormuz, dan tiba di Goa pada akhir tugas militernya setelah sekitar 10 bulan.
Luis Franco Correa, sahabatnya di wilayah Portugis di India, menulis bahwa drama terakhirnya yang boleh jadi paling rumit penulisannya yang berjudul Comedia Filodemo, dipentaskan tidak lama setelah kembali ke Goa, tetapi ada pula yang berpendapat pementasannya adalah saat dia menerima penghargaan dari gubernur Portugal di India D. Francisco Countinho.
Pada tahun 1555, gubernur Francisco Barreto menerima keluhan yang diajukan beberapa orang Portugis terhadap Camoes karena mereka merasa menjadi sasaran dan ejekan dalam tulisan-tulisannya. Karena itu, ia mengusirnya ke Ternate, di pulau Maluku, yang saat ini merupakan wilayah kekuasaan Portugis yang paling terpencil yang dilengkapi garnisun dan benteng. Sang penyair tiba pada tahun 1556.
Dari tahun inilah penulisan Puisi Lusiadi (Os Lusiadas) dimulai, tepatnya ketika dia sedang berada di sana, bebas dari dinas militer, tanpa harus berhubungan dengan penonton atau sponsor untuk pertunjukan drama komedinya, tanpa menghadapi hal-hal yang harus ia jadikan karya satirnya, dan malahan ia harus menikmati waktu luang yang dipaksakan. Ia ke sana membawa juga beberapa kutipan puitis oktaf (stanza) yang dia integrasikan ke dalam karyanya sebagai episode yang otonom. Dia banyak membaca dan juga menuliskan bagian-bagian di buku catatan kutipan dan catatan. Dia melanjutkan tulisan karya epiknya selama enam belas tahun berikutnya, lambat tapi semakin matang.
Karena sangat tepat kalau Camoes dalam karya Puisi Lusiadi mengungkapkan rasa terima kasihnya pada tanah ini dengan menyebut pulau Ternate, yang saat ini dihuni oleh tentara, pedagang dan kaum religius Portugis, dan juga Tidore, pada puisi X bait 132. Selain itu, kerinduan dan nostalgianya terhadap hari-hari yang ia lewatkan di Ternate secara lebih rinci ia ungkapkan dalam karya kidung cintanya yang panjang yang ia tulis dengan gaya Petrarca dari Italia. Dengan kekuatan yang tidak biasa …, saat ia menceritakan kekasihnya saat berjalan-jalan di antara pepohonan di pulau yang bergunung berapi.
Dalam perjalanan menuju Ternate, atau mungkin juga dalam perjalanan pulang, ia diperkirakan berada di pulau Banda, yang juga ia ungkapkan dalam Puisi Lusiadi. Puisi X bait 133. Dia menulis soneta tentang pohon pala, Arvore, cujo pomo bello, e brando (Pohon, yang gagangnya indah dan lembut). Gambaran yang sama ia ungkapkan dalam larik-larik kidung cinta tersebut di atas saat membahas pohon rempah khas Ternate. Kedua karyanya itu sama-sama merupakan ungkapan kenangan Camões selama tinggal di pulau rempah-rempah yang penuh mitos, selama puncak kreativitasnya yang terbukti kemudian sangat penting bagi sastra Portugis dan dunia.
Kemungkinan Camões, dalam perjalanannya menuju atau kembali dari Ternate, juga mengunjungi pulau Sumatera. Penyair menyebutnya dengan nama legendaris, yakni Taprobana tepat di bait pertama larik pertama karya Puisi Lusiadi, dan dia memujinya dua kali lagi karena penghasil nafta, pohon bezoin (dupa), sutra dan emas pada puisi X, bait 124 dan 135. Pulau lain di Nusantara yang tampaknya dia kenal dengan baik adalah pulau Sunda (Jawa), karena dia secara akurat mendeskripsikan hutan kayu-kayu batu yang diakibatkan curah hujan yang ditemukan di wilayah barat yaitu di Banten dan khususnya yang saat ini Bernama Taman Nasional gunung Halimun dan Salak pada puisi X, bait 134. Ada penyebutan kapur barus dari Kalimantan pada puisi X dan bait 133, dan kayu cendana di pulau Timor pada puisi X, bait 134. Karenanya ia bisa dikatakan sebagai penyair pertama yang menulis syair tentang pulau-pulau di wilayah itu, dan salah satu orang Eropa pertama yang menggambarkan spesies floranya.
Setelah meninggalkan negeri dongeng Indonesia, Camões melanjutkan perjalanannya dan menghadapi berbagai tantangan dan bahaya: Tak lama setelah memperoleh posisi administratif dan didukung para penguasa Portugis di wilayah Asia, ia langsung mengalami kejatuhan karena penganiayaan karena ada orang-orang yang menentangnya. Mula-mula ia langsung ke wilayah kekuasaan Portugis di India pada tahun 1559 dan tinggal selama tiga atau empat tahun. Pada awalnya ia mendapat dukungan gubernur yang memimpin di sana yaitu D. Constantino de Bragança (1558-1561) dan D. Francisco Coutinho (1561-64). Tempat yang dikunjungi berikutnya adalah Makau (dari tahun 1562/63 hingga 1565). Di sini ia menetap setelah diberi pekerjaan oleh D. Francisco, yaitu sebagai kepala di kantor penyedia mayat.
Namun, nasib sial terus membuntutinya, karena pada tahun 1562, sekembalinya dari laut Cina, kapalnya karam di mulut Sungai Mekong dalam kunjungan singkatnya ke Kamboja. Di tempat inilah ia mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya kepada gadis Cina yang hilang di laut. Gadis ini dia beri nama klasik Dinamena dan menurut Diogo do Couto mereka sudah serius untuk menjalani kehidupan bersama. Dalam kecelakaan itu, ia berhasil menyelamatkan sebagian besar naskah Puisi yang sudah mulai disusun.
Dia melanjutkan perjalanan melalui Malaka dan kembali berada di India pada tahun 1566. Di Goa, India, dia ditangkap atas perintah gubernur vang berkuasa di sana, D. Antão de Noronha. Dia diperintah kembali kerajaan di Portugal pada tahun 1567, untuk mengikuti proses persidangan atas dugaan penggelapan dana yang seharusnya dia bawa dari Makau, yang diduga hilang dalam kecelakaan laut. Tapi dia kemudian tertahan di Pulau Mozambik karena konflik dengan kapten kapal. Setelah diselamatkan berkat bantuan teman-temannya, dari Afrika Timur ia melanjutkan perjalanannya pada tahun 1569 dan tiba di ibu kota kerajaan pada tahun 1570. Dia ia berhasil membela diri dari tuduhan penggelapan dana oleh penguasa yang tidak adil dari Noronha, seperti yang ia ungkapkan pada puisi X. Bait 128, larik 6, sebagai mana yang dikatakan pastur Mariz dalam buku biografinya: Dan kehebatan puisinya tidak menghentikan niatnya walau dipenjara di India, [-] dan menyerah pada kerajaan ini.
Dapat dipastikan bahwa meskipun mengalami berbagai rintangan hebat, Camões tidak pernah ingin mencetak puisinya di Goa, padahal di tempat ini bait-bait pertamanya muncul pada tahun 1563. Alasannya, karena dia ingin Raja D. Sebastião membacanya, dan hal itu hanya mungkin jika buku itu dicetak di Lisbon. Dia akhirnya berhasil mencapai yang sudah menjadi satu-satunya tujuan hidupnya: menjadi “mata dan telinga raja” dan melaporkan kepada raja apa yang terjadi dalam penaklukan wilayah Asia oleh kerajaan Portugal melalui kesaksian langsung dari mereka yang telah tinggal di sana selama satu setengah dekade. Karya epiknya yang bentuknya seperti surat panjang dalam bentuk syair yang ditujukan kepada penguasa, ia mengatur redaksinya, beberapa kali memberi judul yang berbeda-beda, hingga akhirnya dicetak dan diterbitkan pada tanggal 12 Maret 1572.
Dukungan oleh Gereja yang lebih tradisional, yang diwakili oleh para biarawan Dominikan yang dia dekati sangat memudahkan urusannya sehingga lebih mudah dalam memperoleh izin dari pihak gereja. Namun untuk mendapatkan dukungan Istana, masalahnya lebih sensitif. Masalahnya adalah karena Camões, dalam puisinya, menyampaikan pesan-pesan tegas dari para pelindung agamanya yang menentang meningkatnya kekuasaan para imam Yesuit dalam pemerintahan. Dia dengan berani meminta raja untuk mendukung para penasihat yang berpengalaman dalam urusan militer, puisi X. bait 153, pemerintahan, hukum atau keuangan, asalkan mereka memiliki karakter yang baik, puisi X, bait 149, alih-alih mendengarkan panggilan religius untuk kerasulan, puisi X, bait 119. Dia juga menyarankan agar kerajaan membebaskan rakyat dari pajak yang berat dan dari undang-undang yang ketat, puisi VII, bait 86; puisi X, bait 149.
Dalam nasihat-nasihat persuasifnya tentang aturan pemerintahan yang baik, Camões mengusulkan agar aturan dibuat dengan memanfaatkan pengetahuan «para ahli», puisi X, bait 152, dan bukan dari para politisi, atau di zaman itu disebut abdi dalem yang penuh ambisi dan kejahatan, puisi VIl, bait 84, mereka yang datang ke istana raja [dan yang] memberikan harapan dan sanjungan palsu, puisi IX bait, 27, atau para oportunis yang tidak bermoral,
puisi VII, bait 85 dan bahkan ia memberikan peringatan yang menyeramkan kepada penguasa: Berhati-hatilah agar tidak dimangsa/ Oleh anjing-anjing yang kau cintai yang akan memakanmu, puisi IX, bait 26.
Camões mengungkap tindakan saudara-saudara Gonçalves da Câmara, para pastor yang berpenampilan «jujur dan serius», para pastor Martim (kepercayaan raja) dan Luís (yang membantu pengakuan untuk raja, seorang Yesuit). Pemerintah Martim menindas rakyat dengan memungut pajak untuk memperkaya kas kerajaan, puisi VII, bait 85, puisi X, bait 150.
Tetapi, Martim Gonçalves da Câmara, adalah pengagum berat Camões. Dialah yang berusaha agar penulis Puisi Lusiadi ini diberi gaji, dan juga memberi maaf atas penghinaan yang ia lakukan karena sangat menyukai puisinya. Kemudian dia, yang pernah menjabat sebagai menteri yang sangat berkuasa, tapi sangat dicerca dalam puisi besar itu, memperoleh izin untuk mengukir di makam sang penyair sebuah encomium berbentuk batu nisan Latin, demikianlah ia melewati bulan-bulan terakhir hidupnya untuk memberikan kehormatan dan mengenang orang hebat ini, sepertt yang dikatakan oleh Mariz.
Agenda kritiknya terhadap pemerintah, yang sebelumnya banyak dipertanyakan, menjadi semakin kompleks karena ada juga keinginan untuk merehabilitasi tokoh-tokoh yang tidak disukai raja-raja sebelumnya, puisi 1, bait 14, seperti Duarte Pacheco Pereira, puisi X, bait 12, atau D. Francisco d’Almeida, puisi X, bait 26,. Dengan demikian, ia juga mengecam pemerintah masa lalu. Dalam bait-bait ini, Camões berani menuduh raja sebagai orang yang durhaka dan tidak tahu berterima kasih. Hal ini tentu saja termasuk sesuatu yang unik alias tidak biasa dilakukan dalam karya sastra yang diterbitkan pada masanya. Keberanian seperti ini jelas membuktikan ia mendapat perlindungan dan kekebalan dari penguasa.
Rencana rehabilitasi yang dipertanyakan ini termasuk juga ditujukan pada Laksamana Vasco da Gama sendiri, yang adalah sepupunya sendiri, yang saat itu kinerjanya meragukan. Prestasinya menurun karena ekspedisi penting yang ia lakukan ke India pada tahun 1497.99, tidak mendatangkan keuntungan komersial. Saat itu adalah enam puluh tahun sebelum dimulainya penulisan Puisi Lusiadi. Ia banyak melakukan kekerasan saat menjadi kapten Armada Pertama. Selain itu, ia melakukan hal-hal yang tak terhormat karena melawan orang-orang yang tidak bersenjata, selama ekspedisi kedua yang ia pimpin pada tahun 1502, melalui ekspedisi Armada Keempat India.
Alih-alih memilih karakter yang sangat baik sebagai pahlawan dalam karya epiknya, Camões dengan berani bersyair tentang orang biasa, yang jauh dari nilai-nilai kehormatan seperti halnya Achilles, kelicikan seperti Ulysses, empati seperti Aeneas, atau bahkan tokoh yang penuh gairah. seperti Orlando, atau pahlawan-pahlawan epik besar Homer, yakni Vergil dan Ariosto yang dijadikan model oleh para penyair lainnya. Sebagai subjek tanpa kualitas atau kebajikan yang membedakannya dari manusia pada umumnya, Gama dikenal arogan dan pendendam seperti yang ia tunjukkan di Mozambik, tapi juga dapat dipercaya dan sederhana seperti saat di Mombasa atau ceroboh dan sombong yang ia perlihatkan di Calcuta sereta kurang cermat dan suka menghabiskan persenjataan dan menggunakan sarana kerajaan untuk melakukan balas dendam pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa dia kurang bisa mengendalikan emosinya. Padahal nilai ini sangat penting dimiliki seorang pemimpin.
Sikap seperti itu membuat mantan kapten kapal itu tidak mendapat dukungan dari raja yang menilai bahwa dia telah bertindak semena-mena terhadap anak-anak buahnya dan ditakuti orang-orang yang menerimanya di Kalkuta. Karena hubungannya yang bermasalah dengan Zamorin, penguasa lokal, Gama yang pada awalnya berhasil membangkitkan rasa ingin tahu dan ketertarikan Zamorin pada potensı kerjasama komersıl, pada akhirnya malah menjadikannya musuh utama yang mengganggu kepentingan bangsa Portugis. Fakta ini idak disembunyikan Camões, meskipun ia mencoba mencari pembenaran melalui «diplomasi» meriam, ultimatum dan penyanderaan dengan intrik dan suap dari para pedagang Moro yang hadir di sana. Yang tidak dapat diatasi oleh Gama.
Jelas, Camões sadar bahwa misi besar Portugis di wilayah Timur tidak akan menguntungkan secara komersial. Tapi dia dengan kejeniusannya memilih mengagungkan bangsanya yang telah menaklukan Muscat pada tahun 1507. Goa pada tahun 1510, Malaka pada tahun 1511, dan dua kali pengepungan benteng Diu, pada tahun 1538 dan 1546. Selain itu, ia juga membanggakan sukses bangsa Portugis yang dalam jumlah kecil kekuatan armadanya bisa menyaıngi negara adidaya saat itu, yaitu Kekaisaran Ottoman, dan Kesultanan Gujarat yang kuat. Tetapi penyair itu meminta maaf karena tidak membahas secara rinci capaian-capaian ini yang dianggapnya terlalu luar biasa untuk sekedar diungkapkan dengan penanya. La beranggapan bahwa mereka ‘Melakukan tindakan-tindakan luar biasą yang sulit diungkapkan dalam syair atau cerita panjang’, puisi X, bait 71 dan secara singkat merangkumnya dalam puisi X dari epiknya yang ditujukan pada wilayah Portugis di Asia dan juga luar negeri.
Karena itu, berkat kepiawaian puitis Camões, perjalanan Gama, yang sesungguhnya tidak terlalu epik dalam hal pencapaiannya, malahan seakan mengubur ketenaran para penyair yang mencoba bersyair tentang prestasi-prestası besar bangsa Portugis di Asia, seperti (Jerónimo Corte -Real dan Francisco de Andrade yang mengungkapkan pengepungan di wilayah Diu Francisco de Sá de Menezes tentang penaklukan Malaka, dan Francisco de Pina de Mello untuk penaklukan Goa). Karya puisi Camões, langsung mendapat persetujuan dan dukungan dari sektor-sektor Gereja yang lebih tradisional. Bahkan mendapat dukungan juga dari kerajaan yang dikritik begitu keras dalam karya Puisi Lusiadi karena dianggap tidak menerapkan nilai-nilai yang modern.
Juga perlu diingat bahwa penyair itu, pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ditemani oleh António, perawatnya yang asal pulau Jawa. Ia menemani sang penyair sampai kematian keduanya yang hampir bersamaan di Lisbon, pada tahun 1580. Meskipun tidak banyak dibahas oleh para penulis biografi Camöes tentang Jau (nama inilah yang lebih dikenal di Portugal), kepribadiannya menjadi sangat penting dalam karya sastra kematian Camões, terutama pada abad ke-19. Untuk mengingat jasanya, pada tahun 1885, sebuah jalan di kota Lisbon diberi nama «Rua Jau» (Jalan Jau) yang bersinggungan dengan «Rua Luís de Camões» (Jalan Luis de Camões) dan sejajar dengan «Rua dos Lusíadas» di wilayah Alcântara. Tentu saja ini adalah suatu kehormatan besar dari penduduk ibukota bagi orang Jawa yang paling dalam sejarah abad keenam belas bangsa Portugis, pendamping terakhir dalam kelaparan dan kemiskinan sang maestro.
***
Prestasi Portugal yang sangat besar dalam konteks Eropa tidak sebanding dengan keberhasilan dari segi bahasanya, yang tidak berhasil disebarkan di wilayah Asia. Selain itu, bahasa Portugis juga tidak berhasil menjadi Bahasa budaya sastra di antara bangsa-bangsa Eropa lainnya. Camões, seorang penyair dwibahasa yang menguasai dengan baik bahasa Spanyol, bahwa bahasa Portugis memiliki martabat yang sama dengan bahasa-bahasa terhormat lainnya. Untuk membuktikannya, ia mengirim surat-surat dalam bentuk puisi pada para bangsawan. Berkat kesuksesannya dalam penulisan karya Puisi Lusiadi, dan keindahan formulasi puitis yang digunakannya untuk memuliakan bahasa Portugis tertulis, mahakaryanya menjadi monumen sastra paling simbolik dari Renaisans Portugis.
Camões dalam Puisi Lusiadi terang-terangan menggunakan bait berlarik delapan seperti yang digunakan oleh Ariosto dalam karyanya Orlando furioso. Selain itu, ia juga nemakai teknik alur-alur cerita yang seperti pada karya Arabian Nights, tapi dia juga melakukan teknik melanjutkan cerita yang terputus. Sebagai contoh: dalam puisi I kita menemukan penjelasan penyair kepada rajanya yang muncul di dalam puisi, untuk memberitahukan tentang tema-tema yang jadi bahan renungan (Puisi 1, bat 1-18). Dan, untuk menunjukan kebaikan kerajaan, ia mengungkapkan pelayaran Armada Pertama Portugis, yang sesungguhnya tidak terlalu epik. Karena itu, ia juga membahas peristiwa-peristiwa terbesar dalam sejarah Portugal seraya bersyair tentang orang-orang Lusiadi yang luar dan tidak menulis Gamíada yang meragukan. Kejujurannya dalam berpuisı terlihat antara lain dalam pemilihan seorang laksamana yang kontroversial yang tidak sebanding dengan para pahlawan kuno. Tetapi kerajaan melihat adanya pergeseran dari fokus pada pelaut kepada kemuliaan raja-raja masa lalu dan capaian mereka. Pernyataan awal yang ditujukan kepada raja berakhir pada bait-bait terakhir (145-156) puisi X.. Di antara dua episod ini, dia dengan cermat mengikuti gaya Aeneid karya Vergil yaitu dengan -narator-narator lain untuk memberitahukan pada raja-raja baru tentang pertempuran, cinta, episode sejarah dan juga awal dari perjalanan mereka sendiri, seperti Vasco da Gama, saudara Vasco, yang bertutur pada Catual, gubernur India tentang bendera-bendera di kapal, dalam bait VIII, bait 1-43.
Intervensi para dewa dan manusia seperti pantulan terbalik pada cermin: Venus berhasil memohon pada Jupiter, raja para dewa Olympia, untuk membantu orang-orang Portugis, dalamn puisi II, bait 39-41. Selain itu, ada Neptunus, raja para dewa samudera, yang didesak oleh Bacchus agar melawan orang Portugis, puisi VI, bait15, 27-34, meskipun gagal. Maria yang cantik, ratu Kastilia, memohon kepada ayahnya, Raja Afonso IV, untuk mendukung suaminya dalam perang, pada puisi II, bait 103-106 dan berhasil. Selanjutnya ada Ines de Castro, yang berteman, dan diduga menikahi, calon raja D. Pedro I. la memohon kepada ayah suaminya, yaitu raja D. Afonso IV agar menyelamatkan nyawanya dari tuntutan rakyat dan para abdi dalem, dalam puisi III, larik 126-129. Ini adalah arsitektur puitis yang sempurna seperti yang digubakan Vergil, Ovid dan banyak penyair dan penulis prosa lainnya dari berbagai masa yang menggunakan teknik paralel, kembali, deskripsi yang dihiasi dengan refleksi pemikiran dari karakter filosofis.
Camões terkadang dianggap kurang bersikap baik terhadap orang-orang dan agama yang ditemuinya di Asia. Persepsi ini muncul karena pembacaan yang terlalu literal terhadap bagian-bagian tertentu dari puisinya. Namun, suara narator dan karakternya bukanlah suara Camões sendiri. Sesunguhnya, penyair menyampaikan suara semua pihak, dan bahkan menyampaikan argumen yang mendukung dan menentang ekspansi komersial dan militer bangsa Portugis. Dengan pengalamannya di bidang teater, ia sanggup menulis kata-kata yang sama baiknya yang disampaikan mulut aktor protagonis maupun antagonis. Dan jika Camões sebagai narator terkadang terlihat seperti memusuhi orang «Moro”, namun ternyata terinspirasi dan terkesan pada sultan Muslim, Malindi, yang ia anggap sebagai potret penguasa yang baik dan adil, sahabat ideal bagi bangsa Portugis. Dengan demikian, karyanya mampu menyenangkan berbagai tipe pembaca dengan kepekaan yang berbeda.
Sebagai penulis komedi, Camões juga berhasil meredam dengan humor-humornya semua situasi epik yang dia gambarkan, dan bahkan situasi yang dramatis, seperti visi Dionysian tentang dunia, Baginya, dunia adalah tempat tangisan dan tawa bercampur baur dan menunjukan bahwa dalam tragedi yang paling dramatis atau dalam perbuatan yang paling luhur sekali pun, selalu ada unsur komedi, dan sebaliknya.
Lusíadas melampaui capaian misi pelayaran Gama, yang memang kurang kuat dan Camões dan kurang menguntungkan secara komersil. Tetapi ia berhasil mengubahnya menjadi momen yang mendefinisikan dan membangun kembali sejarah Portugis, seperti pertempuran Ourique atau Aljubarrota. Selain prestasi ini, Camões juga berhasil, dengan kehalusan artistiknya dan kepiawiannya menggunakan bahasa Portugis klasik, untuk menciptakan idiom puitis baru yang merupakan model ekspresi dan paradigma perumusan yang pasti dan diperlukan di setiap bait, di setiap sajak, di setiap formulasi yang ditulis dengan penuh keanggunan yang masih tak tertandingi hingga saat ini.
Setelah 450 tahun sejak penerbitan pertama Os Lusiadas di Lisbon, buku puisi ini terus menantang kita dengan kekuatan kebaruan karena penulisnya tahu bagaimana menggali pengalaman penting yang ia alami sendiri, sebagai pelaut di Samudra Atlantik dan Hindia. Juga sebagai tentara, pengembara, petualang, pengabdi setia kerajaan, kekasih dan penyair. Seni yang berdenyut di Os Lusíadas adalah seni yang hidup, bersemangat dengan kemanusiaan, dalam syair yang bertutur tentang karya dan pengorbanan kru kapal, kesetiaan dan pengabdian mereka kepada raja, berbagai keajaiban alam, perdagangan dan impor produk-produk timur dari daerah-daerah terpencil.
Tentu saia ada juga fatamorgana di bagian akhir tentang upah atas perjuangan para pelaut diberikan di pulau Kekasıh tempat Taman Kenikmatan surgawi beserta para bidadarinya. Hadiah yang lebıh banyak dipercayai penganut Islam daripada Kristen ini adalah hadiah simbolis atas kemenangan atas rasa takut dan keinginan untuk menghadapi semua risiko baik yang diketahui atau tidak, bangkai kapal, penyakit, pengkhianatan, kelaparan, cobaan, tetapi juga untuk mengagumi hal-hal yang belum pernah terlihat, yang belum pernah diketahui, menggabungkan Sejarah dan Mitos dalam pelajaran humanis berlingkup universal.
Selamat datang di petualangan besar kapal dan ayat.
Jakarta, 12 Maret 2022