Marzuki Wahid
Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF),
Pengasuh Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina, Cirebon
Email: @marzukiwahid; marzukiwahid@gmail.com
Sejenak baca judulnya saja, “Tokoh Perempuan dalam Cerpen,” kita sudah bisa menerka apa isi dan pesan yang hendak disampaikan. Bukan hanya perempuan, tapi tokoh perempuan. Sebagai tokoh, perempuan dalam buku ini tentu saja digambarkan memiliki posisi, peran, kontribusi, dan atau makna yang penting dan berpengaruh sehingga menjadi perhatian. Perempuan dalam Cerpen ini dipotret sebagai subjek kehidupan dengan seluruh dinamikanya.
Kita tahu secara filosofis dan teologis, perempuan mulia dan seharusnya dimuliakan. Tetapi dalam kenyataannya? Secara konstitusional dan teologis, perempuan setara dengan laki-laki, dan seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama agar terwujud keadilan. Namun, dalam kenyataannya? Secara normatif dan teologis, keadilan seharusnya diwujudkan untuk perempuan. Namun, dalam kenyataannya? Dinamika inilah kira-kira yang hendak dilukiskan oleh Cerpen yang sekarang dalam lembar genggaman para pembaca.
Untuk memperjuangkan keadilan, termasuk keadilan gender, tidak selalu harus berteriak nyaring pake toa dan turun ke jalan membentangkan spanduk, melainkan bisa dengan menyuarakan cerita ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan, dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan. Tidak pula dengan bahasa yang kasar dan narsis, yang bisa menimbulkan kekerasan baru, tetapi bisa dengan bahasa sastra yang lembut menyentuh jiwa dan nurani.
Cerpen yang ditulis oleh para mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) ini adalah salah satu ikhtiar pembelajarannya. Sebagai pemula, Cerpen yang ditulis oleh mahasiswa ISIF atas bimbingan Kang Nana Sastrawan ini sungguh menggembirakan. Yang menarik dalam konteks pembelajaran, Cerpen ini bukan semata ekspresi kebebasan jiwa, melainkan buah dari pelatihan creative writing yang diselenggarakan oleh Pusastra (Pusat Studi Bahasa dan Sastra) ISIF. Bagi saya, ini bisa dijadikan prototype “pembelajaran transformatif” yang outputnya bisa melahirkan karya intelektual yang dipublikasikan.
Di antara kemampuan intelektual yang terus perlu diasah hingga tajam di kalangan mahasiswa adalah keterampilan menulis. Karena menulis sesungguhnya tidak hanya menumpahkan kata, melainkan juga melukis makna. Makna diperoleh tidak hanya dari tumpukan buku, melainkan juga realitas yang nyata, bahkan juga dari kejadian yang pernah dialami, dilihat, dan dirasakan, pun pula dari intuisi yang liar.
Kata yang mencari makna, atau makna yang butuh kata? Bagi saya, kata dan makna ibarat raga dan jiwa. Kata yang tak bermakna bak raga tanpa jiwa, ada tapi hampa. Sebaliknya makna tanpa kata ibarat jiwa tanpa raga, wujud tapi tak tampak. Keduanya saling mengisi dan melengkapi. Kata dan makna yang berjodoh akan melahirkan energi yang bisa membuat orang menangis, tertawa, sedih, bahagia, dan berpikir, bahkan melahirkan karya intelektual baru.
Oleh karena itu untuk melahirkan makna yang berenergi, intelektual tidak hanya hidup dalam kubangan perpustakaan, melainkan juga mengembara dalam realitas semesta yang tak berbatas dan menyatu bersama denyut kehidupan masyarakat. Suara intelektual bukan hanya kebenaran korespondensi dan koherensi. Suara intelektual sejati adalah suara kejujuran, suara kemaslahatan, suara keadilan, suara kemanusiaan, dan suara kedamaian semesta.
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) sebagai kampus transformatif tentu tidak ingin melahirkan jati diri intelektual yang hanya berkhutbah di atas menara gading. ISIF dengan perangkat pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang dimiliki berambisi memasifkan intelektual yang hembusan nafasnya adalah kejujuran, langkahnya adalah kebenaran, suaranya adalah keadilan, dan tatapannya adalah kemaslahatan.
Lebih dari itu, dengan Program Sarjana-Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) yang mulai disapih sejak tahun 2022 kemarin, ISIF ingin memastikan jati diri intelektual yang menguasai kerangka teologis sebagai basis untuk memperjuangkan hak-hak dan posisi perempuan seadil-adilnya sebagai manusia yang utuh berpredikat “abdullâh” (hamba Tuhan) dan “khalîfah fil ardl” (pemrakarsa di bumi) sebagaimana laki-laki.
Dengan demikian, intelektualisme ISIF adalah perpaduan antara tradisi akademik pesantren, perguruan tinggi, dan gerakan sosial (LSM). Tiga tradisi akademik Nusantara ini menjadi ruh intelektual ISIF. Ilmu dan agama dipelajari oleh civitas akademika ISIF tidak hanya untuk pengembangan ilmu dan kebahagiaan di akhirat, melainkan untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat manusia (mashâlih al-‘ibâd) di dunia melalui transformasi sosial yang diperjuangkannya.
Intelektualisme ini diwujudkan dalam bentuk tulisan dan media populer yang mewadahi pesan-pesan utama dari nilai, prinsip, norma, dan makna yang ditemukan dan hendak disampaikan. Lalu, tulisan ini dipublikasikan dalam bentuk buku dan artikel, melalui media cetak dan digital, dan dikemas dalam konten digital yang populer. Tulisan dan konten digital ini juga didiskusikan dan dibahas sebagai diskursus intelektual dan dijadikan bahan ceramah atau orasi agar dipahami masyarakat. Begitulah terus, hingga akhirnya ilmu bukan hanya konsumsi para peneliti dan akademisi, tetapi menjadi kebutuhan masyarakat hingga level akan rumput (grassroot society) sekalipun.
Kecerdasan dan literasi bukan hanya milik kaum terpelajar saja, tetapi hak setiap warga masyarakat yang tak mampu sekolah sekalipun, karena mahalnya biaya pendidikan dan tidak ramahnya bagi nalar mereka. Oleh karena itu, ilmu, pengetahuan, dan agama harus disampaikan dengan bahasa masyarakat yang popular dengan seluruh keunikannya.
Dengan terbitnya buku Cerpen ini, saya ingin menyampaikan selamat kepada para mahasiswaku yang Cerpennya dimuat dalam buku ini. Sungguh kalian keren, di tengah belajar bisa berkarya. Ini tradisi intelektual yang sangat bagus, perlu dipupuk, disemai, dan disirami hingga tumbuh kembang menjadi pohon intelektual yang rindang dan meneduhkan. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Kang Nana Supriyana alias Nana Sastrawan yang telah membimbing mahasiswa ISIF sehingga mampu menulis Cerpen yang bisa diterbitkan. Juga terima kasih kepada Fajar Pahrul Ulum yang dengan sukarela memfasilitasi pembelajaran creative writing ini hingga bisa terbit buku Cerpen ini.
Jelaslah, buku ini bukan karya pertama dan terakhir yang ditulis mahasiswa ISIF. Telah menanti sejumlah buku yang segera terbit. ISIF telah mendedikasikan diri sebagai ruang belajar bagi kader intelektual masa depan yang dengan ilmunya mewujudkan peradaban manusia yang berkeadilan dan bermartabat.[]
Rumah Joglo, Majasem, 31 Juli 2024