Oleh Sukma Aulia Rohman
Mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina
Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan keberagaman suku, ras, budaya, dan agama. Keberagaman yang ada merupakan anugerah tersendiri yang membuat kehidupan di negara ini menjadi warna warni.
Setiap orang memahami keberagaman dengan cara pandang yang berbeda. Ada yang menganggapnya sebagai rahmat dari tuhan, namun tak sedikit pula yang memandangnya sebagai sebuah keburukan. Tak jarang bagi mereka yang memandang keberagaman sebagai sebuah hal yang memiliki konotasi negatif, untuk mencoba menyeragamkan keberagaman yang ada kedalam keseragaman.
Usaha menyeragamkan keberagaman yang ada di Indonesia seringkali dipicu oleh sikap intoleran terhadap keberagaman. Sikap ini lambat laun mengikis harmonisasi dalam sektor keberagaman paham serta kepercayaan yang ada di masyarakat.
Beberapa tindakan diskriminasi terhadap umat beragama minoritas marak terjadi di negara ini. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Kuningan, Jawa Barat. Yakni pembubaran sepihak agenda Jalsah Salanah yang diadakan oleh kelompok Ahmadiyah.
Apa yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah ini, merupakan salah satu bentuk diskriminasi serta perenggutan hak-hak kebebasan dalam beragama yang harusnya didapatkan oleh mereka. Fenomena serupa juga banyak terjadi di negara Indonesia ini bahkan sejak era Orde Baru dimana salah satu bentuk diskriminasi terhadap warga tionghoa di Jakarta terjadi.
Dalam menanggapi maraknya praktik diskriminasi terhadap agama, beberapa elemen masyarakat seperti para akademisi, pemuka agama dan para penyair mencoba menuangkan pesan kedamaian mereka melalui berbagai macam cara. Salah satu cara menuangkan pesan kedamaian yang banyak di gaungkan terutama oleh para penyair adalah lewat karya sastra.
Mengenal Joko Pinurbo
Salah satu karya sastra yang didalamnya berisi tentang pesan kedamaian dalam perbedaan agama adalah puisi minggu pagi di sebuah puisi karya Joko Pinurbo, yang ditulis pada tahun 1998.
Joko Pinurbo atau kerap disapa Jokpin, merupakan seorang penyair yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 1962. Jokpin banyak dikenal oleh masyarakat terutama soal karya sastranya yang bertemakan romantis, satir, dan humor.
Dalam mengawali Jejak kepenyairannya, Jokpin mulai menulis puisi serta karya sastra lainnya sejak duduk dibangku SMA. karyanya banyak yang dimuat di media massa. Nama Jokpin mulai melambung sejak lahirnya buku antologi puisi Celana (1999) yang diterbitkan oleh Indonesia Tera, Magelang kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (Februari, 2018).
Joko Pinurbo, dikabarkan tutup usia pada 27 April 2024 pada usia 61 tahun, dengan meninggalkan banyak sekali karya sastra seperti Celana, Di Bawah Kibaran Sarung, Pacar Kecilku, Telepon Genggam, Kekasihku, dan masih banyak lagi.
Minggu Pagi di Sebuah Puisi
Salah satu Puisi karya Jokpin yang cukup fenomenal adalah puisi yang berjudul “Minggu Pagi di Sebuah Puisi”. Dalam puisi ini, Jokpin menuliskan peristiwa paskah yang mengandung sakralitas di kalangan umat Kristen.
Puisi ini secara gamblang menceritakan tentang perjuangan sosok Maria Magdalena yang terbunuh dengan cara diperkosa karena ia membela Tuhan yang ia yakini.
Penyebutan Maria Magdalena dalam puisi ini, seolah menggambarkan bahwa penulis ingin menyampaikan pesan bahwa dalam mempertahankan keyakinan yang kita yakini, diperlukan perjuangan serta pengorbanan untuk Tuhan sekalipun nyawa kita menjadi taruhannya.
Gadis itu Maria Magdalena, artinya:
yang terperkosa. Lalu katanya, Ia telah
menciumku sebelum diseret ke ruang eksekusi.
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata
telah menjarah perempuan lemah ini.
Lebih jauh, dalam puisi ini, Jokpin juga berusaha memotret realita yang terjadi tentang maraknya diskriminasi terhadap umat beragama. Kendati beragama adalah hak asasi setiap orang dan negara menjamin keamanan beragama, namun pada kenyataanya banyak ditemukan praktik diskriminasi lewat bait di atas.
Salah satu bentuk diskriminasi yang banyak ditemukan di Indonesia adalah penolakan pembangunan rumah ibadah bagi kelompok minoritas seperti Kristen. Dalam beberapa kasus yang terjadi, penolakan ini dilatarbelakangi oleh fanatisme serta sikap mengistimewakan agama tertentu.
Adanya bentuk diskriminasi ini, bukan hanya mencoreng persatuan Indonesia namun mencederai hati nurani bagi para pemeluk agama tersebut.
Spiritualitas Beragama
Agama pada hakikatnya merupakan sebuah bentuk ritual menyembah Tuhan yang diyakini. Dalam melakukan praktik beragama, dibutuhkan pengorbanan serta keteguhan dalam menjalankan serta mempertahankan keyakinan.
Di Indonesia, pemerintah mengatur kebebasan beragama dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Agama merupakan bentuk ritual, maka didalamnya akan ada rasa kerinduan serta ketenangan yang didapat ketika menjalankan ritual agama atau yang dikenal dengan istilah beribadah. Dalam puisinya Jokpin mengisyaratkan bahwa menjalankan ritual agama, dapat mendatangkan rasa tenang. Dalam bait puisinya yang berbunyi:
hujan yang gundah sepanjang malam,
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi,
pergi berbasah-basah ke sebuah ziarah.
Hujan yang gundah, dapat diartikan sebagai kegelisahan serta keadaan dimana jiwa seseorang sedang dalam keadaan gelisah. Kemudian menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi dapat dipahami sebagai kisah paskah atau kekuatan menjalankan ritual beragama dapat menghilangkan berbagai kegundahan serta kegelisahan yang dialami oleh seseorang.
Salah satu bentuk ritual ibadah yang dapat dilakukan adalah dengan ziarah. Ziarah dalam kepercayaan beberapa agama seperti Islam, Kristen, dan Yahudi merupakan suatu bentuk ritual dengan mengunjungi tempat suci dengan tujuan membersihkan hati.
Dalam puisi ini, Jokpin menurut penulis mencoba memberikan isyarat tentang maraknya korban dari diskriminasi yang dilakukan berlandaskan agama. Seperti Maria Magdalena dalam kepercayaan umat Kristiani.
Selain itu, adanya diskrimasi yang terjadi merupakan sebuah pertaruhan dalam mempertahankan keyakinan akan agama yang diyakini. Bahkan jika nyawa menjadi taruhannya, tak jarang seseorang rela mati demi agamanya.
Mempertahankan keyakinan beragama, membuat seseorang menjadi semakin kuat dalam mengimani agama serta Tuhan yang ia percaya. Ditambah dengan menjalankan ritual seperti ziarah tentu akan mendatangkan ketenangan dalam diri seseorang tersebut.
Mari kita simak puisi utuhnya!
Joko Pinurbo
Minggu Pagi di Sebuah Puisi
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami
kisah Paskah ketika hari masih remang dan hujan,
hujan yang gundah sepanjang malam,
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi,
pergi berbasah-basah ke sebuah ziarah.
Bercak-bercak darah bercipratan
di rerumpun aksara di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.
“Ibu akan ke mana?” perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu bersimpuh.
Gadis itu Maria Magdalena, artinya:
yang terperkosa. Lalu katanya, “Ia telah
menciumku sebelum diseret ke ruang eksekusi.
Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata
telah menjarah perempuan lemah ini.
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jari-Nya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang pecah-pecah, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami
kisah Paskah ketika hari mulai terang, kata-kata
telah pulang dari makam, iring-iringan demonstran
makin panjang, para serdadu berebutan
kain kafan, dan dua perempuan mengucap salam:
“Siapa masih berani menemani Tuhan?”
Begitulah puisi Joko Pinurbo atau lebih dikenal Jokpin menghantarkan kita pada sebuah peristiwa paskah yang mengandung sakralitas di kalangan umat Kristen.
Mari disimak pembacaan puisinya, klik di sini https://www.youtube.com/watch?v=4Kjulrk9-MA