Oleh Siti Robiah
Mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina
Novel solilokui memang penuh dengan kebingungan. Membaca isinya tak cukup hanya satu kali karena kita akan dapatkan kejutan-kejutan makna dari kata yang belum terpecahkan. Novel ini kaya dengan pesan mendalam dari awal sampai akhir cerita, alur yang tidak mudah terduga, dikemas dengan bahasa filosofis yang membuat otak kita dipaksa berusaha lebih keras, mencari makna apa yang penulis ingin sampaikan.
Di dalam kamus bahasa Indonesia, Solilokui memiliki arti sama dengan Senandika, yaitu wacana seorang tokoh di dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, mengutip dari laman mbludus.com.
Pergolakan batin dan akal ini yang menjadi persoalan. Perasaan dan logika seakan dipermainkan ketika membaca novel ini. Tokoh aku yang diceritakan dinovel ini sukses menarik empati dan emosi. Ketika kita sebagai pembaca hanya memakai logika saja, kita akan cenderung skeptis dan individual akan tetapi jika hanya memakai perasaan kita akan mudah terbawa emosional. Oleh karenanya, antara logika dan perasaan memang harus berjalan berdampingan dan seimbang.
Dalam kepala kita tersimpan banyak tragedi. Hanya satu yang bisa membawa kita ke dalam ruang kebenaran. Ruang yang tak pernah bisa dihancurkan oleh diri kita sendiri, ruang yang dapat memunculkan rasa percaya diri. Kepalamu adalah jalan menuju surga dan hatimu adalah buku panduannya. (Solilokui, hlm 103).
Bagian dari novel ini memberikan kita sedikit gambaran tentang peran logika dan perasaan harusnya bekerja. Dalam hidup ini kita membutuhkan logika untuk mencapai kebenaran dan perasaan akan bisa memberikan jalan keluar sebagai buku panduan.
Novel ini mengisahkan tokoh aku. Dia adalah pria dewasa yang bercerita tentang kisah hidupnya yang tragis. Dia memiliki ibu yang memiliki gangguan jiwa, tentu saja dia pasti mengalami hal yang sulit selama ini, namun tak diceritakan lengkap mengenai kehidupan beratnya sebelum akhirnya dia menikah dengan perawat di rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat. Pertemuan-pertemuan rutin ternyata telah menimbulkan benih cintanya di antara mereka.
Kehidupan pernikahan pun berjalan bahagia, sampai pada suatu masa sang ibu mengganggu kehidupan mesra keduanya. Tak terima hal itu, tokoh aku pun berhasil menghilangkan nyawa sang ibu, entahlah apa motivasinya, apa karena cinta pada sang istri atau ini hanya puncak emosi yang dia pendam selama ini karena bertahun lamanya mengurusi ibu yang gila.
Tak lama dari kematian sang ibu, sang istri yang amat dicintai pun harus menelan kisah tragis yang sama. Tokoh aku merasa murka dan terkhianati karena perilaku sang istri yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar selama beberapa hari. Tokoh aku memang gila? Kenapa dia tega membunuh istrinya juga? Bukankah ibu dihilangkan nyawa untuk membela istrinya lantas mengapa sang istri pun harus meregang jawa di tangannya juga? Apakah itu yang dinamakan cinta?
Pergolakan batin dan konflik yang tokoh aku kisahkan memberi gambaran tentang dinamika logika dan perasaan. Sebenarnya apa yang tokoh aku pakai hingga bisa berbuat demikian? apakah dia dominan perasaan atau logikanya memang sudah tidak hidup lagi?
Hal ini pun harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak dalam menentukan keputusan dan merespon realita, kita akan selalu melibatkan logika dan perasaan.
Perasaan dan Logika Apakah Sama?
Tokoh aku dalam novel ini, dia telah menunjukan tanda depresi sebelum akhirnya menjadi gila. Depresi bisa terjadi dengan berbagai gejala baik itu disadari ataupun tidak. Depresi juga ditandai dengan kesulitan berpikir, mengambil keputusan, dan berkonsentrasi. Seseorang yang mengalami depresi cenderung kehilangan minat dan motivasi terhadap banyak hal (anhedonia). Selain itu, pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri juga merupakan gejala yang sering muncul.
Hal ini sangat relevan dengan apa yang tokoh aku rasakan. Dia memiliki ketergantungan pada opium dan anggur, merasakan banyak kecemasan dan ketakutan bahkan dia sudah merencanakan kematian di hari kelahiran.
Sekali lagi novel ini sungguh membuat bingung pembaca, tokoh aku adalah orang yang depresi dia tidak bisa menyeimbangkan logika dan perasan. Lalu bagaimana seharusnya kita memainkan perasaan dan logika agar berjalan seimbang? Tak dipungkiri kita sudah terbiasa menganggap bahwa antara logika dan perasaan adalah unsur yang saling kontradiktif. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seperti “kalau ngomong tuh pakai logika jangan pakai emosi” dari kalimat ini timbul pertanyaan, kenapa memangnya jika kita berbicara menggunakan emosi dan perasaan apakah itu salah dan berbicara dengan memakai logika otomatis akan selalu benar?
Kebiasaan satu ini menimbulkan kerangka berpikir jika ada jurang khusus antara logika dan perasaan, dan kita diharus pandai menempatkan karena keduanya dianggap berbeda.
Novel solilokui menggambarkan pergolakan batin yang sangat kompleks pada tokoh aku dan inilah yang turut dirasakan pembacanya. Ketika memakai logika kita akan menghujat habis-habisan sang tokoh karena dinilai tak bermoral, tak berotak tak pantas hidup. Kelakuannya lebih buruk dari binatang sekalipun, akan tetapi saat dihadapkan pada perasaan, kita akan memahami betapa tersiksa dan sengsaranya tokoh aku ini. Hidupnya ibarat neraka dan menderita.
Antara Rasa dan Logika
Penglihatan dan pendengaran mempengaruhi gerak perasaan yang mengakibatkan manusia membuat waktu yang bisa dilihat serta didengar. (Solilokui hal 21).
Dari novel ini kita akan mencoba menarik benang merah antara perasaan dan logika bagaimana seharusnya mereka bekerja? Secara definisi kata logika berasal dari bahasa Yunani, yaitu logos yang berarti “akal”. Dalam bahasa Yunani, logika disebut logike episteme, sedangkan dalam bahasa Latin disebut logica scientia. Dilihat dari logika sebagai ilmu, logika mempelajari kebolehan manusia untuk berpikir secara sejajar, teratur, dan tepat.
Jika mengutip dari buku Logika karya Drs. H. Mundiri. Logika bisa dikatakan sebagai jalan pikiran manusia yang masuk akal atau logis. Logika juga seringkali dikaitkan dengan cara berpikir yang objektif, tegas, serta jauh dari emosi.
Sedangkan perasaan menurut kamus psikologi APA , perasaan adalah “pengalaman fenomenal yang berdiri sendiri“; dan perasaan adalah “subyektif, evaluatif, dan independen dari sensasi, pikiran, atau gambar yang membangkitkannya“. Istilah perasaan terkait erat dengan emosi, tetapi tidak sama dengan, emosi.
Oleh karena itu walaupun terikat tapi perasaan memiliki makna berbeda dengan emosi. Emosi merupakan perasaan seseorang saat berada dalam suatu situasi atau terlibat dalam suatu interaksi. Biasanya sangat intens dan berlangsung untuk waktu yang singkat. Emosi itu bersifat tampak sedangkan perasaan itu tidak selalu tampak walaupun keduanya sama-sama bersumber dari internal.
Sebagai contoh ialah seorang bisa menampakan emosi dengan tawa dan terkesan bahagia padahal perasaanya sedang sedih atau berduka cita. Berdasarkan apa yang ditulis dari laman medium.com untuk memahami perbedaan emosi dan perasaan juga dapat dilihat dari Appraisal Theory — teori psikologi yang menyatakan bahwa emosi kita diekstraksi dari evaluasi (penilaian atau perkiraan) peristiwa yang menyebabkan reaksi spesifik yang berbeda-beda pada setiap individu.
Simpelnya, kurang lebih begini:
Emosi = Pikiran (Logika) + Makna (disebut sebagai Perasaan)
Teori ini juga menekankan bahwa dalam emosi itu sendiri terdapat logika/pikiran dan perasaan/makna, sehingga menunjukkan hubungan keduanya yang saling ‘menjalin’ — bukan berlawanan. Orang yang menggunakan logika bukan berarti tidak berperasaan atau sebaliknya saat kita menggunakan perasaan bukan berarti kita tidak menggunakan logika.
Ada teori yang menyatakan tentang pola pikir yang masih sering kita gunakan dan kadang membuat kita tertutup atas segala kemungkinan yang saja bisa terjadi. Inilah yang dinamakan dengan pola pikir black-and-white thinking atau pola pikir hitam-putih. Pola pikir ini dalam ilmu psikologi dikenal juga dengan Splitting yaitu cara berpikir yang cenderung memuarakan sesuatu pada dua kutub yang kontras dan berlawanan; salah-benar, iya-tidak, baik-buruk, dan sebagainya.
Pola pikir seperti ini bisa berdampak buruk karena menjadikan kita tertutup dan enggan menerima banyak kemungkinan. Dipikirannya hanya ada hitam dan putih padahal di dunia ini terdapat juga warna abu-abu. Di dunia ini tidak bisa juga menyudutkan antara salah dan benar karena semua itu akan berbeda tergantung perspektif, kondisi dan situasi yang terjadi.
Mari kita analisis apa yang tokoh aku lakukan apakah gerak geriknya dominan kepada logika atau perasaan. Tokoh aku menempatkan diri sebagai pribadi yang sesungguhnya tengah depresi dan dia pun menyadari hal itu. Dia memaknai apa yang terjadi pada hidupnya dengan penderitaan, dia juga tahu dan mengerti tentang perasaan yang sedang dia alami. Kita bisa ambil dari isi di halaman 4 novel ini.
aku harus belajar berani menguasai perasaan sendiri untuk menciptakan jurang pemisah antara kepedihan dan kebahagiaan, keterasingan dan keberadaan. Kalaupun pada akhirnya aku kalah dalam setiap perjalananku itu tandanya aku telah berakhir dalam kehidupan manusia.
Bukankah pemikiran bijak seperti ini, didapatkan dari logika yang berjalan dalam melihat kenyataan-kenyataan yang memang sering terjadi sehingga dia pun berpikir memang dalam mengelola perasaan harus ada jurang pemisah agar tidak berlarut. Tentu saja tidak mudah tapi mengapa dia terus menyiksa diri dengan memilih untuk menderita dengan perasaannya.
Tapi ini mungkin saja, mengingat bahwa perasaan ada yang bisa berjalan abadi sampai maut yang memisahkan, jika emosi tampak dan dalam waktu yang singkat maka perasaan tak demikian karena bisa berjalan dengan waktu yang tidak ditentukan.
Bagaimana Seharusnya Perasaan dan Logika Bekerja?
Melansir dari sciencedirect.com bahwa perasaan terkadang dianggap sebagai pembentuk emosi, atau sebagai fitur somatik emosi. Beberapa emosi sebagian besar terdiri dari perasaan sementara yang lain terdiri dari perilaku tertentu yang mungkin atau mungkin tidak memiliki konsekuensi sosial. Hal inilah yang perlu kita garis bawahi, emosi yang dihasilkan sesaat karena perasaan bisa membawa dampak negatif secara personal maupun sosial. Hal inilah yang perlu diantisispasi agar kejadian tersebut bisa terkendali dan mendapat penanganan tepat. Bisa kita simpulkan bahwa apa yang tokoh aku lakukan saat membunuh ibu maupun istrinya tidak lain karena gejolak emosi, sebagai bentuk gagalnya pengelolaan logika dan perasaan secara bijak.
Logika memiliki posisi yang sentral. Dalam mengelola perasaan dan emosi kita membutuhkan logika untuk menganalisis dan mengevaluasi hasil dari keputusan yang kita buat. Jika logika kita dimatikan, maka yang ada keputusan kita bisa membawa pada kerugian. Untuk itulah, logika dan otak berjalan sebagai controlling.
Salah satu teori yang sesuai untuk kita gunakan dalam melihat logika dan perasaan adalah Teori Dual Processing: Menurut teori ini, ada dua sistem yang berbeda dalam pengolahan informasi: sistem satu yang cepat dan intuitif (yang sering dipengaruhi oleh perasaan) dan sistem dua yang lambat dan analitis (yang didasarkan pada logika). Keduanya saling melengkapi; perasaan dapat memberikan petunjuk cepat dalam situasi kompleks, sementara logika membantu mengevaluasi dan memverifikasi keputusan.
Teori dual processing adalah konsep yang menjelaskan dua cara utama otak manusia memproses informasi, yaitu sistem yang cepat dan intuitif versus sistem yang lambat dan analitis. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Daniel Kahneman dan Amos Tversky.
Teori ini bisa menjadi pilihan untuk kita melatih daya pikir dan perasaan kita dalam mengambil keputusan. Perlu diingat logika maupun perasaan memiliki peran luar biasa dalam kehidupan kita. Keduanya ada untuk saling mengisi dan melengkapi. Tidak ada mana yang paling benar dan dominan kita hanya harus bijak dalam mengelola keduanya.
Tokoh aku dalam novel solilokui telah memberi pelajaran berharga untuk mulai mengenal dan menyadari dan mencintai diri kita. Logika dan perasaan yang tidak tervalidasi dan terarahkan bisa menjerumuskan pada emosi sesaat yang malah merugikan. Oleh karenanya, bijaklah kita dalam melihat diri dan realitas yang ada. Tempatkan perasaan dan logika sesuai kedudukanya, kelola dengan baik dan tidak berlebihan. Sehingga kesehatan kita baik secara fisik maupun mental tidak mengalami gangguan, sebagai hasil dari usaha kita dalam menyeimbangkan kerja-kerja logika dan perasaan sesuai kebutuhan.
Begitulah novel ini bekerja pada pikiran dan perasaan pembaca yang ditulis oleh Nana Sastrawan. Ia (penulis) menyuguhkan sesuatu yang bukan hanya sekadar novel.